PRINSIP-PRINSIP UNTUK MENCAPAI KETERPADUAN



Ada berbagai prinsip yang harus dianut untuk mencapai keterpaduan (Busching dan Schwartaz, 1983: 9-14):
1.    Keefektifan komunikasi secara luas sebagai tujuan pembelajaran bahasa di Sekolah Dasar
    Anak-anak membutuhkan ketrampilan berbahasa yagng dapat diterapkan dalam kehidupannya agar dapat belajar dan berkomuniksai. Mereka perlu memahami orang lai, berunding dengan orang lain, membuat suatu keputusan, serta mengungkapkan maksud-maksud pribadi secar menyenangkan dan meyakinkan. Terampil berkomunikasi berarti tidak hanya memiliki pengetahuan bahasa, tetapi dapat menggunakan bahasa secara tepat dalam berbagai siruasi. Pengguna bahasa yang baik dapat memiliki secara tepat bentuk-bentuk bahasa yang harus digunakan, sesuai dengan konteks berbahasa. Dalam situasi resmi dia harus menggunakan ragam bahasa baku, sedang dalam situasi tidak resmi menggunakan ragam bahasa tidak baku. Pilihan tersebut muncul dari kepekaan sosial dan linguistic. Artinya, karena seseorang tanggap terhadap situasi npembicaraan yang sedang dihadapinya maka ia dapat memilih ragam bahasa yang paling sesuai untuk digunakan.
    Kemampuan berkomunikasi secara efektif yang merupakan tujuan utama pembelajaran bahasa seharusnya merupakan kriteria dalam menentukan keberhasilan pembelajaran. Dengan demikian kita tidak akan menitikberatkan pembelajaran pada pemerolehan pengetahuan bahasa. Setelah kita menyadari bahwa penguasaan pengetahuan bahasa bukan merupakan tujuan akhir pembelajaran bahasa, kita harus menghindari pembelajaran bahasa yang masih menekankan pemberian materi stuktur secara berlebihan.
2.    Situasi pembelajaran bahasa menurut konteks
    Mungkin konsep keterpaduan yang paling mendasar ialah bahwa pembelajaran bahsa akan menjadi optimal jika diusahakan dalam konteks yang bermakna. Kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak, pengalaman berkomunikasi secara aktif dan proses berfikir yang mereka alami membuat mereka menjadi pembaca dan pendengar yang cerdas, serta pembicara dan penulis yang pandai. Apabila pembelajaran bahasa tidak bermakna bagi anak-anak atau tidak memiliki tujuan yang jelas, anak-anak akan gagal dalam belajar (Smith, Lewat Buschiing dan Scwartz, 1983: 10). Sebagai contoh, anak kelas 2 dapat diberi tugas membuat surat yang benar-benar dikirimkan kepada kepala sekolah. Yng terpenting bukan ketepatan bahasa dan isi surat tersebut, tetapi keberanian untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia.
    Menurut kenyataan, belajar bahasa merupakan proses coba-coba dan proses memecahkan masalah. Anak-anak menduga-duga tentang penggunaan bahasa yang sesuai, menggunakan bahasa berdasarkan dugaan tersebut, kemudian mencocokkan apakah penggunaan bahasa mereka tepat. Bantuan guru atau orangtua  kepada anak dalam belajar bahasa akan sangat efektif apabila dikaitkan dengan kemauan dan kegiatan anak.
    Penelitian tentang proses belajar bahasa tentang yang sebenarnya terjadi ketika anak-anak belajar atau situasi belajar, sebagai pendorong belajar atau menumbuhkan motivasi belajar. Penelitian tersebut menemukan bahwa jika kepada anak ditunjukkan model-model berbahasa yang baik dan benar dan diberikan kesempatan menyampaikan  dan menerima pesandalam berbagai tugas, kemampuan berbahasanya akan meningkat secara cepat (Grates, lewat Busching dan Schwartz, 1988:10).
    Mengapa program pembelajaran bahasa yang menekankanpenggunaan bahasa(menggunakan pendekatan komunikatif) merupakan program yang kondusif untuk belajar bahasa? Kesempatan belajar memecahkan masalah cukup banyak diberikan. Dengan demikian setiap anak dihadapkan pada kebutuhan untuk berkomunikasi. Hal ini mendorong  anak meningkatkan kemampuannya berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang dipelajarinya.
    Pemilihan konteks secara hati-hati dan sistematis sangat penting dalam mengembangkan program pembelajaran bahasa yang efektif di sekola. Sebaliknya anak-anak juga diberi kesempatan untuk memilih konteks tersebut secara semerta Spontan). Sekurang kurangnya tugas-tugas atau kegiatan pembelajaran perlu menggunakan tiga macam konteks yang berbeda: ekspresif, kognitif dan sosial (Busching dan Schwartz, 1988: 12-13).
    Konteks eksprektif ialah situasi yang memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk mengungkapkan pendapat atau perasaan pribadi atau menanggapi yang diungkapkan oleh orang lain. Penggunaan bahasa secara ekspresif ini termasuk membaca puisi, menolong secara spontan dalam bermain drama, mendramatisaikan percakapan, bahkan juga membaca nyaring secara bersama (koor). Termasuk juga menulis ekspresif, yakni mengungkapkan pikiran dan perasaan secara bebas.
    Konteks kognitif merupakan wahana untuk mengembangkan kemampuan berfikir. Bahasa tidak dapat dipisahkan dari pikiran. Buktinya, pola piker menentukan pemahaman bacaan demikian juga bacaan mempengaruhi pola berpikir pembaca. Penggunaan bahasa dalam konteks kognitif memberi kesempatan bagi anak memahami oranglain dan mengungkapkan pikiran sendiri.
    Sekolah perlu memadukan (mengintregasikan) bidang-bidang studi agar dapat menumbuhkan ketrampilan berfikir disertai pemahaman dan apresiasi secara luas. Dalam bidang studi, murid-murid mengembangkan ketrampilan menggunakan bahasa; mereka memperoleh pengalaman yang menyebabkan kematangan kognitif emosional dan sosial. Murid-murid memperoleh ketrampilan bahasa melaui mengamati, menyimak, membaca, berbicara dan menulis tentang ilmu pengetahuan alam, matematika, agama, ilmu pengetahuan sosial, Pkn, seni dan penjaskes. Dengan mempelajari berbagai bidang, mereka meningkatkan ketrampilan berbahasa dan berpikir, serta memperoleh dasar bagi perkembangan estetik dan sosial. Mereka juga menjadi sadar akan dunia sekeliling mereka dan memahami serta saling ketergantungan antara berbagai segi kehidupan. Inilah yang disebut “menggunakan bahasa untuk belajar”.
    Konteks sosial tidak dapat dipisahkan dari penggunaan bahasa. Anak-anak menggunakan bahasa untuk membangun dan meneruskan hubungan sosial. Sejak dini anak-anak berkomunikasi dalam konteks sosial. Mereka berhubungan dengan orang-orang disekitarnya, yaitu ayah, ibu, dan kakak atau yang lain dengan menggunakan bahasa. Ketika memasuki sekolah anak-anak sudah dapat berbicara dan mendengarkan dalam berbagai situasi sosial. Mereka juga sudah mulai tanggap terhadap berbagai ragam penggunaan bahasa yang sesuai dengan situasi social tersebut. Tugas sekolah adalah menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan yang dimiliki anak-anak agar memiliki ketrampilan berbahasa. Jadi di sekolah anak perlu memperoleh latihan-latihan menggunakan bahasa untuk mengadakan hubungan social.
    Hubungan social yang biasa diterapkan dalam masyarakat seperti persuasi, penjelasan pengembangan gagasan bersama, dan yang serupa dengan itu harus dimasukkan dalam pembelajaran untuk membentuk kemampuan komunikatif. Kemampuan melakukan persuasi (mempengaruhi orang lain) dikembangkan misalnya dengan memberikan tugas kepada setiap anakkelas dua untuk menghubungi seorang kakak kelas dan meminta dengan sungguh-sungguh untuk menghadiri pameran lukisan yang diadakan oleh anak-anak kelas dua. Agar dapat memberikan penjelasan, anak-anak dilatih menunjukkan suatu tempat dengan jelas setiap ada orang yang menanyakan alamat seseorang atau tempat tertentu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara simulasi. Sedangkan pengembangan gagasan bersama dapat terjadi jika anak-anak diberi tugas mendiakusikan pemecahan suatu masalah atau merencanakan suatu kegiatan bersama. Interaksi social yang lebih spesifik yang memilih bentuk-bentuk bahasa yang khas perlu juga dimasukkan seperti diskusi, menulis surat, wawancara, mengisi formulir, dll. Salah satu contoh anak diminta mewawancarai ibunya atau ayahnya menanyakan tempat tanggal lahir, golongan darah, dan sebagainya.
    Komunikasi dalam konteks social cenderung memadukan (mengintregasikan) bahasa karena secara alami memang terjadi pertukaran antara dua belah pihak. Beberapa konteks social terutama memerlukan kegiatan menulis dan membaca (misalnya surat), yang lain memerlukan berbicara dan menyimak (diskusi).
3.    Memaksimalkan hubungan antar ketrampilan berbahasa
Prinsip ketiga untuk mencapai keterpaduan ialah memaksimalkan hubungan berbagai cara berkomunikasi. Hubungan ibi dapat tercipta jika bahasa diajarkan secara terpadu. Misalnya ialah bagaimana menciptakan keterpaduan tersebut dalam pembelajaransehingga mendukung  pola belajar anak secara terpadu.
Bagaimana terjadinya keterpaduan antar ketrampilan penggunaan bahasa? Penggunaan bahasa yang bersifat produktif (berbicara dan menulis) dan resptif (menyimak dan membaca) menciptakan satu dasar keterpaduan. Penyimak (pendengar) dan pembaca menggunakan prosesw yang sama yaitu “menerima” isyarat dari luar dan menanggapi isyarat tersebut. Demikian juga penulis dan pembicara menggunakan proses dalam menemukan symbol-simbol berbentuk kata, kalimat, paragraph, dan wacana untuk mengungkapkan gagasan dan perasaan. Program pembelajaran terpadu (keterpaduan dalam bidang studi) menguntungkan karena dapat memanfaatkan persamaan-persamaan dalam menggunakan bahasa yang bersifat reseptif, dan meminta anak-anak menyimak bermacam-macam wacana yang sama dengan apa yang akan mereka baca kemudian.. persamaan-persamaan dalam menggunakan bahasa bersifat produktif  dan mendorong dalam pengalihan ketrampilan mendiskripsikan secara lisan ke ketrampilan mendiskripsikan secara tertulis.

No comments:

Post a Comment