Hakikat Guru sebagai Model Berbahasa di Kelas



Dalam berbahasa baik lisan maupun tulisan, anak-anak perlu banyak latihan membaca dan menulis melalui pengalaman-pengalaman yang bermakna. Mereka juga perlu kebebasan untuk berbuat keliru dan belajar dari kekeliruannya. Guru dalam hal ini harus memberikan waktu dan kesempatan belajar praktek untuk perkembangan baca-tulis seluas-luasnya. Untuk kelancaran belajar anak, peran guru dalam pembelajaran bahasa adalah mendemonstrasikan dan sebagai membaca dan menulis (Eisele, 1991:4). Sebagai model, guru selama proses pembelajaran maupun di luar proses pembelajaran selalu menggunakan bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku yang merupakan bahasa yang benar atau betul (Depdikbud, 1993:19).
Di dalam proses pembelajaran, guru sebagai model selalu aktif mendemonstrasikan dan memberikan model/ menjadi model bacaan dan lutisan untuk para siswanya. Bandura dalam Gunarsa menyatakan faktor yang penting untuk meniru sesuatu tingka laku melalui pengamatan, yakni proses kognitif. Dengan mengamati tingka laku orang lain, anak membentuk suatu konsep bagaimana pola tingkah laku yang diamati itu diperlihatkan. Konsep ini yang sebenarnya merupakan kegiatan mensimbolisasikan sesuatu menjadi dasar dan pola untuk perbuatan atau tingkah laku yang akan diperlihatkan kelak. Belajar dengan mengamati model ini, bukan hanya meniru model, melainkan juga semua bentuk instruksi verbal. Jadi anak mempelajari sesuatu melalui instruksi verbal yang disebut simbolik-imitasi. Hal ini berhubungan dengan perkembangan bahasa anak yang merupakan rangkaian mensimbolosasikan dan kemampuan mengucapkan kembali perkataan atau kalimat sebagai hasil mempelajari sesuatu melalui peniruan (Gunarsa 1981:122-124).
Selanjutnya Bandura juga menyatakan empat komponen belajar dengan mengamati sebagai berikut: (1) perhatian terhadap model harus ada sebelum melakukan peniruan. Oleh karena itu model harus ada sesuatu yang bisa menarik perhatian sebagai objek untuk diamati dan ditiru dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam bertingkah laku dan berbahasa, (2) pencaman, yakni adanya kemampuan untuk mencamkan atau mengingat perilaku yang dilihatnya secara simbolis. Objek yang diamati menimbulkan rangsangan visual disamping juga rangsangan verbal, (3) Reproduksi motorik, yakni kemampuan-kemampuan motorik dalam batas waktu tertentu harus sudah ada atau sedah berkembang, dan (4) ualangan penguatan dan motivasi.
Timbulnya keinginan untuk meniru tingkah laku model, karena dengan meniru ia akan memperoleh sesuatu. Sehubungan dengan ini model harus memperlihatkan kelebihan dan kekuatan, misalnya seorang guru sekolah. Tingkah laku model telah jelas terbukti memberikan kepuasan (hadiah, kehormatan, kehebatan, kemenangan). Ada hubungan yang hangat antara model dengan anak. Miler dalam Gunarsa menyatakan bahwa pada mulanya terjadi peristiwa coba-mencoba meniru tingkah laku yang diperlihatkan orang lain. Pada pertama kali anak memperlihatkan tingkah laku hasil meniru, maka segera dilakukan pengulangan. Pengulangan ini yang biasa disebut self-reinforcing atau penguatan yang timbul dari si peniru yang disebut penguatan diri. Misalnya seorang anak mengatakan terhadap dirinya sendiri ucapan gurunya atau ibunya yang memujinya atau yang menyenagkannya.
Badudu menyatakan bahwa seorang guru bahasa Indonesia haruslah menjadi contoh yang baik, bagaimana seharusnya menggunakan bahasa Indonesia itu. Selain itu, sebelum guru bahasa Indoensia membina murid-muridnya, terlebih dahulu harus membina dirinya sendiri. Sebagai seorang guru yang baik haruslah menguagsai bidang yang diembannya itu sebaik-baiknya. Seorang guru yang baik haruslah kreatif dan berusaha agar murid-murid sebagai anak didiknya juga kreatif (Badudu, 1985:72-73).

No comments:

Post a Comment