Kecerdasan Artifisial (KA) telah menjadi tonggak utama dalam revolusi teknologi abad ke-21. Kemampuannya untuk memproses data dalam jumlah besar, belajar dari pola, dan menghasilkan output yang menyerupai kecerdasan manusia menjadikan KA sangat berguna di berbagai bidang. Namun, seperti teknologi lainnya, pemanfaatan KA juga menghadirkan tantangan sosial yang kompleks, yang mencakup aspek penyebaran informasi, kesenjangan akses, hingga kebutuhan literasi publik.
Potensi Penyebaran Hoaks: Deepfake dan Disinformasi
Salah satu tantangan paling signifikan dalam pemanfaatan KA adalah kemampuannya dalam menghasilkan konten palsu yang tampak sangat meyakinkan, dikenal dengan istilah deepfake. Teknologi ini memungkinkan manipulasi video, audio, dan gambar untuk meniru wajah, suara, atau ekspresi seseorang secara realistis.
Contohnya, seseorang dapat terlihat seperti mengatakan sesuatu yang tidak pernah ia ucapkan. Hal ini dapat digunakan untuk kepentingan politik, pencemaran nama baik, atau menyebarkan hoaks. Jika tidak dikendalikan, teknologi ini dapat merusak reputasi seseorang, mengacaukan opini publik, bahkan mengancam stabilitas sosial dan politik.
Penelitian oleh Chesney dan Citron (2019) menunjukkan bahwa deepfake memiliki potensi besar untuk menyebarkan disinformasi dan merusak kepercayaan publik terhadap media digital. Dalam lingkungan yang sudah rawan hoaks, kehadiran KA yang mampu menciptakan konten palsu memperparah kondisi tersebut.
Kesenjangan Akses Teknologi: Ketimpangan Digital
Tantangan sosial lainnya terletak pada ketimpangan akses terhadap teknologi KA. Meskipun sebagian masyarakat di kota besar telah menikmati manfaat KA dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak wilayah, terutama di daerah terpencil, yang belum memiliki akses memadai terhadap infrastruktur digital.
Masalah ini diperparah oleh jaringan internet yang belum merata. Menurut laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII, 2023), masih ada jutaan masyarakat Indonesia yang belum memiliki akses internet yang stabil, terutama di kawasan 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).
Selain itu, peralatan teknologi yang mahal, seperti komputer berkinerja tinggi atau perangkat pintar, juga menjadi penghalang utama bagi masyarakat untuk mengakses atau memanfaatkan teknologi KA. Ditambah lagi, kurangnya pelatihan dan pendidikan teknologi menyebabkan banyak orang tidak memiliki keterampilan dasar untuk memahami atau mengoperasikan sistem berbasis KA.
Perlunya Edukasi Publik: Literasi Teknologi sebagai Kunci
Dalam menghadapi tantangan sosial dari KA, edukasi masyarakat merupakan elemen krusial. Masyarakat harus dibekali dengan kemampuan literasi digital, yang tidak hanya mencakup keterampilan teknis, tetapi juga pemahaman kritis terhadap informasi yang dikonsumsi dan dibagikan.
Edukasi ini penting agar masyarakat tidak mudah percaya pada berita palsu, apalagi yang menggunakan elemen deepfake. Literasi digital memungkinkan seseorang untuk mengenali tanda-tanda konten manipulatif dan melakukan verifikasi silang sebelum membagikan informasi.
Di sisi lain, masyarakat juga perlu didorong untuk menggunakan teknologi dengan aman, misalnya melalui pemahaman tentang perlindungan data pribadi, penggunaan sandi yang kuat, serta kewaspadaan terhadap penipuan digital.
Selain itu, edukasi harus mencakup pemahaman tentang kelebihan dan keterbatasan KA. KA bukanlah entitas mahakuasa. Ia bekerja berdasarkan data yang dimasukkan, dan tidak memiliki pemahaman moral, konteks sosial, atau emosi seperti manusia. Dengan memahami hal ini, masyarakat dapat lebih bijak dalam menggunakan dan menilai sistem berbasis KA.
Tantangan Sosial Lain: Polarisasi dan Ketergantungan
KA juga bisa memperkuat polarisasi sosial, terutama jika digunakan untuk menyaring informasi sesuai preferensi individu (filter bubble). Algoritma media sosial yang berbasis KA sering kali menampilkan konten yang memperkuat pandangan seseorang, yang berisiko mempersempit wawasan dan meningkatkan intoleransi terhadap perbedaan.
Selain itu, ketergantungan yang berlebihan pada KA juga bisa melemahkan kapasitas berpikir kritis dan pengambilan keputusan manusia. Masyarakat perlu dibimbing untuk tidak sekadar menerima output dari KA sebagai kebenaran mutlak, tetapi tetap melakukan penilaian logis dan etis.
Kesimpulan: Membangun Ekosistem Sosial yang Siap Hadapi KA
Tantangan sosial dari kecerdasan artifisial adalah nyata dan kompleks. Mulai dari ancaman hoaks melalui deepfake, kesenjangan akses teknologi, hingga rendahnya literasi digital, semuanya membutuhkan penanganan sistemik dan kolaboratif.
Solusi jangka panjang tidak hanya terletak pada regulasi dan teknologi pendeteksi hoaks, tetapi juga pada pendidikan dan kesadaran kolektif masyarakat. Pemerintah, dunia pendidikan, komunitas teknologi, dan media memiliki peran besar dalam membentuk masyarakat yang kritis, inklusif, dan adaptif terhadap teknologi.
Dengan pendekatan yang tepat, kita bisa memastikan bahwa kecerdasan artifisial menjadi alat yang memperkuat kesejahteraan sosial, bukan malah menciptakan jurang baru dalam masyarakat.
Referensi:
-
Chesney, R., & Citron, D. K. (2019). Deepfakes and the new disinformation war: The coming age of post-truth geopolitics. Foreign Affairs, 98(1), 147–155.
-
Vosoughi, S., Roy, D., & Aral, S. (2018). The spread of true and false news online. Science, 359(6380), 1146–1151.
-
UNESCO. (2021). Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence.
-
APJII. (2023). Laporan Survei Penetrasi Internet Indonesia 2023.
-
Floridi, L. (2019). Establishing the rules for building trustworthy AI. Nature Machine Intelligence, 1(6), 261–262.
0Comments